A. STANDAR BAKU
Dalam
transaksi konsumen, standar
kontrak atau perjanjian baku merupakan
penggunaan klausula eksonerasi. Standar kontrak pada dasarnya lahir dari
kebutuhan masyarakat yang bertujuan untuk memberikan kemudahan atau kepraktisan
bagi para pihak dalam melakukan transaksi.
Berdasarkan Pasal
1 angka 10 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memakai
istilah “klausula baku”. Adapun pengertian “klausula baku” tersebut adalah “Setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan telah
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.”
Berikut pengertian standar baku menurut beberapa ahli:
- Menurut Marian Darus Badrulzaman, perjanjian/kontrak baku adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat-syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir;
- Menurut Sutan Remy Sjahdeini, perjanjian/kontrak baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan;
- Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian/kontrak baku baku sebagai perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha;
- Menurut Black’s Law Dictionary, perjanjian /kontrak baku (adhesion contract) adalah format kontrak baku yang berprinsip take it or leave it yang ditawarkan kepada konsumen di bidang barang dan jasa tidak memberikan kesempatan pada konsumen untuk bernegosiasi. Dalam situasi seperti ini konsumen dipaksa untuk menyetujui bentuk kontrak tersebut. Ciri khas kontrak baku adalah pihak yang lemah tidak memiliki posisi tawar”.
B. MACAM-MACAM PERJANJIAN
Macam-macam perjanjian antara lain:
a) Perjanjian Timbal Balik:
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak sehingga terjadilah suatu timbal balik, contohnya jual beli, sewa-menyewa, dll.
b) Perjanjian Sepihak:
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada kepada pihak lainnya, contohnyanya perjanjian hibah, hadiah.
c) Perjanjian Cuma-Cuma (Tanpa Pamrih) dan Perjanjian Dengan Beban:
Perjanjian cuma-cuma (tanpa pamrih) merupakan
perjanjian dimana suatu pihak memberikan suatu
keuntungan kepada pihak lain tanpa imbalan apa pun, contohnya perjanjian pinjam pakai, dan perjanjian hibah.
Perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
d) Perjanjian Bernama:
Perjanjian bernama merupakan suatu perjanjian yang mana perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian Nominaat terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.
e) Perjanjian Tidak Bernama:
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Terciptanya Perjanjian innominaat didasari karena pada hukum perjanjian, berlakunya asas kebebasan mengadakan perjanjian.
f) Perjanjian Campuran (Contractus sui generis):
Dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian nominaat yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri.
g) Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Kebendaan:
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian
yang menimbulkan perikatan yang menimbulkan
adanya hak dan kewajiban
diantara para pihak.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.
h) Perjanjian Konsensual, Perjanjian Riil, dan Perjanjian Formil:
Perjanjian konsensual adalah suatu
perjanjian yang hanya memerlukan persetujuan (consensus) dari kedua
pihak.
Perjanjian riil adalah perjanjian disamping
ada persetujuan kehendak juga sekaligus masih memerlukan penyerahan suatu
benda, misalnya jual beli barang
bergerak.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang
harus dibuat secara tertulis, jika tidak maka perjanjian ini menjadi batal,
misalnya: Perjanjian perdamaian (Pasal 1851 KUH Perdata).
C. SYARAT SAHNYA TERJADINYA PERJANJIAN
Sebuah perjanjian baku harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW), yaitu :
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
- Suatu hal tertentu;
- Kausa (suatu sebab) yang halal (diperbolehkan).
Syarat Pertama “Sepakat
mereka yang mengikatkan
dirinya” merupakan syarat
subjektif. Syarat ini menjelaskan bahwa para pihak yang membuat
perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok
atau materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan
tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan (Pasal 1321 KUH Perdata).
Syarat Kedua “Kecakapan untuk membuat suatu perikatan” merupakan syarat subjektif. Maksud dari syarat kedua ini adalah yang
cakap atau yang dibolehkan oleh hukum untuk membuat perjanjian adalah orang
yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur genap 21 tahun (Pasal 330 KUH Perdata), dan orang yang tidak sedang di
bawah pengampuan.
Syarat Ketiga “Suatu hal tertentu” merupakan syarat objektif. Maksudnya adalah dalam membuat
perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas.
Setidaknya jenis barangnya itu harus ada (terdapat pada Pasal 1333 ayat 1).
Syarat Keempat “Suatu sebab yang halal” merupakan syarat objektif. Artinya tidak diperbolehkan untuk melakukan perjanjian atas sesuatu yang dilarang oleh undang-undang atau yang bertentangan dengan
hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
D. SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Suatu perjanjian
lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat perjanjian
terhadap objek yang diperjanjikan.
Hal ini tertera dalam Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) KUHP. Seorang dikatakan memberikan
persetujuannya/ kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki
apa yang disepakati.
Berikut ini teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya perjanjian, yaitu:
a) Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Teori ini menjelaskan bahwa lahirnya perjanjian adalah ketika telah dikeluarkannya pernyataan tentang penerimaan dari suatu penawaran.
b) Teori Pengiriman (Verzending Theori)
Teori ini menjelaskan bahwa lahirnya perjanjian adalah pada saat pengiriman jawaban akseptasi, sehingga orang mempunyai pegangan relatif pasti mengenai saat terjadinya perjanjian.
c) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Teori ini menjelaskan bahwa lahirnya perjanjian adalah ketika jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d) Teori penerimaan (Ontvangtheorie)
Teori
ini menjelaskan bahwa lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya
jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Jadi, saat surat tersebut sampai
pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
perjanjian.
E. PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
a) Pembatalan Suatu
Perjanjian
Jika suatu perjanjian
melanggar syarat subyektif sahnya
perjanjian yang tertera dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW), maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh salah satu
pihak. Perjanjiannya sendiri tetap
mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap
atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
Sedangkan,
apabila perjanjian yang dibuat telah melanggar syarat obyektif sahnya perjanjian yang tertera dalam Pasal 1320 Burgerlijk
Wetboek (BW), seperti kausa
yang bertentangan dengan undang-undang, nilai-nilai kesopanan ataupun
ketertiban umum, maka perjanjian tersebut batal demi hukum yang artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
b) Pelaksanaan Suatu
Perjanjian
Pelaksanaan
perjanjian merupakan pemenuhan
hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian
itu mencapai tujuannya, sehingga perjanjian
yang telah dibuat dan dilaksanakan
secara sah akan mengikat
pihak-pihak tersebut. Maka, perjanjian yang telah dibuat
dan dilaksanakan tidak bisa diatur dan dibatalkan oleh satu pihak. Kemudian pelaksanaan
perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Hal ini adalah maksud dari Pasal
1338 ayat (3) KUHP yang
merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian.
REFERENSI
Bali, Eds. 2019. Jenis-jenis
Perjanjian. https://www.hukum.xyz/jenis-jenis-perjanjian/
(diakses hari Minggu, 4 April 2021)
Makmur, Suparman.
2018. Saat dan Tempat Lahirnya Perjanjian. https://slideplayer.info/slide/12619339/
(diakses hari Minggu, 4 April 2021)
Mahkamah Agung. 2018. Perjanjian Batal Demi Hukum dan Dapat Dibatalkan. https://www.pn-tahuna.go.id/tentang-pengadilan/sistem-pengelolaan-pn/kegiatan-pengadilan/item/perjanjian (dikses hari Minggu, 4 April 2021)
Comments
Post a Comment